Mimpi saya yang terbesar, yang ingin saya laksanakan adalah, agar mahasiswa Indonesia berkembang menjadi “manusia-manusia yang biasa”. Menjadi pemuda-pemuda dan pemudi-pemudi yang bertingkah laku sebagai seorang manusia yang normal, sebagai seorang manusia yang tidak mengingkari eksistensi hidupnya sebagai seorang mahasiswa, sebagai seorang pemuda dan sebagai seorang manusia. – Soe Hok Gie
“KAMPUS INI TELAH MATI” kata-kata tersebut yang dituliskan oleh Didik Fotunadi dalam buku Revolusi Dari Secangkir Kopi (RDSK) ketika melihat pergerakan mahasiswa yang telah dibayangkan sebelumnya tidak sesuai kenyataan.
Pergerakan mahasiwa yang katanya berapi – api pada saat 1978 ketika berlakunya NKK/BKK (Normalisasi Kehidupan Kampus/Badan Koordinasi Kemahasiswaan) dan terjadinya penangkapan beberapa mahasiswa karena memperjuangkan pergerakan kemahasiswaan di kampus ITB saat itu.
Semangat pergerakan berupa mahasiswa kritis, diskusi, membela rakyat tertindas, dan petani tergusur belum ditemukan sebelum Pak Didik menemukan Unit Kemahasiswaan PSIK saat itu. Ditengah – tengah membaca Novel RDSK yang ditulis Pak Didik membuat saya merenung sejenak dan mengingatkan pada suatu hal. Kondisi pergerakan kampus yang mulai bergeser dan tidak sedikit mulai kehilangan maknanya. Bedanya bukannya pergerakan mahasiswa yang mati pada kampus ini namun nurani yang sekarang mulai kehilangan arti. Kesibukan dalam hal akademis yang semakin berat, ditambah lagi deadline laporan praktikum yang sedang menunggu, lalu menjadikan terbatasnya ruang gerak kemahasiswaan dimata birokrasi menjadi alasan beberapa mahasiswa antipati terhadap pergerakan. Terlalu jauh apabila membahas pembelaan mahasiswa terhadap rakyat kecil yang tertindas dan petani tergusur, melihat mahasiswa kritis yang giat datang forum diskusi sekarang sudah menjadi fenomena yang langka. Kondisi nyaman tersebut menyebabkan kampus ini kurang menerima yang namanya dinamika (kondisi yang berbeda dengan biasanya). Sekali ada orang atau kelompok yang memberikan kritik dan sifatnya oposisi terhadap aktivitas para eksekutif kampus sudah menjadi bahan cemoohan dan perbincangan negatif di berbagai jurusan. Padahal bukannya dinamika dalam kehidupan itu hal yang wajar ? ada yang baik ada yang buruk, apa yang manusia lakukan terkadang berbuat benar dan juga terkadang melakukan kesalahan. Termasuk ketika saya menulis tulisan seperti ini mungkin ada sebagian yang memandangnya dengan sebelah mata. Artinya secara subjektif saya bisa katakan kebebasan dalam berpendapat sudah mati dalam kampus ini. Terlepas dari persepsi negatif, seharusnya eksekutif sebagai kaum intelektual sadar diri untuk mengevaluasi setiap aksi yang dilakukan dan tidak hanya sekedar melakukan penyikapan.
Salah satu sifat negatif manusia Indonesia adalah Lebih suka tidak bekerja keras, kecuali kalau terpaksa, orang Indonesia kalau sudah membagikan suatu hal yang dia tahu meskipun sifatnya masih kecil seperti sudah melakukan hal yang besar – (Alm.) Mochtar Lubis –
Kesibukan mahasiswa dalam hal akademis membuat kita malas berfikir panjang tentang pergerakan. Sehingga memunculkan interpretasi ‘instan’ tentang pergerakan kemahasiswaan. Mulai dari fenomena di media social, esensi mengikuti pelatihan, dan pilihan untuk menjadi aktivis ormawa (organisasi mahasiswa).
Click Activist dan Keyboard Warrior
Click Activist, sebutan bagi orang yang hanya berdiam diri di depan computer membaca isu tertentu, menyatakan dukungan – dukungannya dengan tombol like atau join di media sosial dan setelah itu merasa sebagai seorang aktivis yang menyelesaikan permasalahan social yang ada di masyarakat. Menurut Acep Iwan Saidi, pengamat kebudayaan di Bandung, menyebut orang – orang semacam ini reaksioner, bukan revolusioner. Mereka beraksi cepat dan tanggap terhadap problem sosial, tetapi lupa untuk memperjuangkannya hingga tuntas.
Keyboard warrior, internet menghadirkan beragai pengetahuan. Positifnya tidak seperti dahulu, dengan internet tidak hanya orang bersekolah dan membaca buku – buku saja yang mampu menjangkau pengetahuan. Sekarang semua orang bisa mendapatkan informasi semudah menyentuh jari ke layar tablet. Pengetahuan yang melimpah – ruah ini pula yang menjadikan seseorang rawa menjadi keyboard warrior. Mereka adalah orang yang berani menyuarakan pendapat, berdebat, hingga berkomentar, dengan berdasarkan pengetahuan yang mereka dapat dari media yang dia dapatkan melalui internet. Namun orang – orang ini akan diam jika di dunia nyata dan tidak mengemukakan pendapat mengenai suatu kasus pun, apalagi merespon dengan memberikan tindakan. Tanpa keyboard mereka tidak akan bisa menjadi warrior.
Kehadiran internet sekarang bukan lagi menjadi media pencerdas anak bangsa malah semakin merusak moral anak bangsa. Internet yang sejatinya menghubungkan kita dengan seluruh dunia hingga dunia terasa dekat malah sebaliknya membuat kita jauh dengan kenyataan sebenarnya yang ada di lingkungan masyarakat. Apa yang beberapa orang katakan di dunia maya, kenyataannya tidak semua mereka lakukan didunia nyata? Belum lagi para pejabat public kita yang sekarang menjadikan media social sebagai senjata mereka mendapatkan simpati masyarakat, lalu bagaimana realisasinya? Apakah sebagai mahasiswa kita ikut-ikutan mereka juga?
Aktivis pelatihan atau aktivis organisasi ?
Tersedianya berbagai macam media pengembangan diri bagi para mahasiswa patut diacungi jempol. Seiring dengan berkembangnya zaman sekarang, kebutuhan mahasiswa tidak hanya berupa hardskill yang menuntut mahasiswa untuk mendapat poin maksimal dalam akademik, tetapi juga terdapat pengembangan softskill yang sekarang sedang digembar – gemborkan oleh para motivator. Hal ini kemudian menyebabkan banyak bermunculan pelatihan yang memberikan pengembangan mahasiswa secara softskill. Tidak main – main pelatihan yang ada bukan sekedar orientasi pengembangan diri tetapi juga menawarkan kontribusi mulia untuk bangsa ini. Baik pelatihan didalam kampus maupun diluar kampus. Iming – iming networking serta sebuah pengalaman yang nantinya bisa dicantumkan dalam CV mereka masing – masing yang mengikuti menjadi sebuah tawaran yang menggiurkan bagi mahasiswa. Seperti hal nya seorang keyboard warrior, ketika lulus dari pelatihan mereka merasa menjadi seorang aktivis yang sebenarnya melebihi teman yang lain. Mereka melupakan apa yang seharusnya dia lakukan setelah mengikuti pelatihan. Bukankah bukti dari mengikuti pelatihan adalah bagaimana perubahan yang tampak terhadap diri kita pasca pelatihan? Dan seberapa bermanfaat kita bagi lingkungan setelah itu ?
” Memayu hayuning Sariro, memayu hayuning Bangsa, memayu hayuning Bawana, ( Apapun yang di perbuat oleh seseorang itu, hendaknya dapat bermanfaat bagi dirinya sendiri, bermanfaat bagi bangsanya, dan bermanfaat bagi manusia di dunia pada umumnya )” – Ki Hajar Dewantara –
Sekarang mahasiswa sibuk memperkaya diri, menambah ilmu dirinya sendiri dengan mengikuti semua pelatihan. Ketika mereka telah usai dengan pelatihannya sebelumnya, belum sampai mereka menerapkan ilmu yang mereka dapat mereka sudah dihadapkan dengan pelatihan yang lain. Menambah eksistensi, gengsi, dan jabatan sekarang menjadi tujuan utama mengikuti pelatihan pengembangan diri. Entah pelatihan apapun, yang mengatakan dirinya keterampilan manajemen, youth leader bla bla dan lain sebagainya. Hal yang menjadi sorotan bukan wadah pengembangan diri yang sejatinya mereka pasti punya tujuan mulia, akan tetapi niat dan tujuan mahasiwa yang mulai melenceng jauh dari esensi adanya pelatihan. Untuk saat ini saya mengatakan pelatihan yang ada merupakan pelatihan pengembangan diri, karena memang kebanyakan pelatihan yang ada merupakan ajang memperkaya kemampuan pengembangan mereka – mereka yang ikut. Kalau toh memang tujuan mahasiswanya semua sudah benar, harusnya kondisi masyarakat disekitarnya sudah jauh terangkat dong? sudah berapa banyak alumni – alumni pelatihan pengembangan diri itu dihasilkan? apakah perbandingannya sudah sama dengan perubahan di lingkungan sekitarnya?
Sering kita mendengar istilah aktivis ormawa (organisasi mahasiwa). Merasa dirinya seorang aktivis setelah bergabung dengan organisasi mahasiswa. Kalau saya lebih suka dibilang budak program kerja daripada aktivis ormawa. Pasalnya sekarang organisasi mahasiswa menjadi ajang mencari gengsi dan melupakan pembelajaran diri. Terlalu dihadapkan dengan program kerja yang se-abrek dan mengabaikan nilai – nilai yang seharusnya dijunjung tinggi. Terlalu muluk berbicara mengenai nilai, visi misi organisasinya saja belum tentu paham apalagi membahas nilai. Mereka (aktivis ormawa) lebih takut dirinya tidak mampu memenuhi TUK program kerja daripada organisasinya kehilangan nilai – nilai perjuangan mahasiswa. Secara subjektif saya bisa katakan ormawa yang ada sekarang sebagai miniatur industri yang mengharuskan mereka mencapai target – target yang sudah disepakati serta melupakan bahwa ormawa itu memiliki label kemahasiswaan. Menurut saya nilai – nilai organisasi lebih dapat dirasakan tidak melalui program kerja melainkan melalui permasalahan non teknis, kegiatan kumpul bersama rekan diluar kegiatan rutin, dan ngobrol hingga larut malam membicarakan masa depan organisasi. Namun mereka sekarang menyebut kegiatan yang seperti itu hal yang membuang – buang waktu. Padahal bukannya ada pepatah yang mengatakan kampus ini laboratorium kehidupan, kampus ini tempat kita bermain, tempat mahasiswa dengan asiknya memikirkan tentang nasib rakyat dan kemajuan bangsa. Mungkin sekarang kita masih dihadapkan dengan kegiatan kampus, belum lagi jika kita dihadapkan dengan permasalahan yang ada di tengah masyarakat langsung ? bisakah kita menyelesaikannya tanpa adanya tuntutan jabatan dalam organisasi ?
Tri Dharma Perguruan Tinggi
Berbicara tentang pergerakan mahasiswa tidak akan ada habisnya. Setiap mahasiswa pasti mempunyai pandangan masing – masing mengenai bagaimana jati diri pergerakan mahasiswa sesungguhnya. Untuk saat ini saya bisa katakana jati diri pergerakan mahasiswa cukup dengan memahami, meresapi, dan mengimplementasikan Tri Dharma Perguruan Tinggi dengan hati nurani yang paling dalam. Bukan secara parsial namun satu kesatuan.
Pendidikan
Bukan main – main mencantumkan pendidikan pada salah satu Tri Dharma Perguruan Tinggi. Makna pendidikan bukanlah sekedar belajar mata kuliah didalam kelas dan mendapatkan nilai tertinggi. Pendidikan sendiri bertujuan membangun etika, moral (budi pekerti), berbeda dengan pengajaran bersifat transfer knowledge /memberitahu dengan tujuan membangun intelektualitas. Selama ini sekolah hanya memberikan pengajaran, tetapi kurang memberikan pendidikan, atau mungkin memberikan dalam porsi kecil, bukan sebagai muatan utama. Dan bila terjadi masalah budi pekerti, kebanyakan sekolah akan melimpahkan tanggungjawab pada orangtua, padahal orangtua sendiri sudah merasa menyerahkan pendidikan sang anak kepada sekolah. Bukankah kita sudah sering mendengar bahwa pendidikan didalam kelas itu hanya 30% ? sisanya kita dapat di kehidupan sehari – hari. Sehingga ketika berada di ruang kuliah mahasiswa bisa berdiskusi dengan dosen terkait penemuan yang mereka temukan dalam kehidupan dan mengkorelasikan dengan mata kuliah yang mereka terima. Apabila semua itu bisa diterapkan, bisa dikatakan implementasi pendidikan kita sudah maksimal. Namun, bagaimana bisa dikatakan maksimal, lha wong ketika dosen melemparkan pertanyaan didalam kelas saja masih banyak mahasiwa yang ‘plonga-plongo’ dan berlomba – lomba untuk menyembunyikan diri dari dosen supaya tidak ditunjuk. Kalau seperti ini, pribadi kita yang semestinya jadi evaluasi bukan sistemnya. Bagaimana kita dibilang aktivis kalau moral kita dalam pendidikan saja masih kacau ?
Penelitian
Dari total alokasi BOPTN ( Bantuan Operasional Perguruan Tinggi Negeri ) tahun 2015 mencapai Rp 4,55 triliun, Rp 1,4 triliun diantaranya untuk penelitian. Tidak sedikit alokasi dana pemerintah yang ditujukan untuk perguruan tinggi khususnya pada bidang penelitian. Sayangnya, minat mahasiswa terhadap penelitian (riset) semakin tahun semakin berkurang. Tim riset sudah memiliki dunia sendiri dalam kemahasiswaan, padahal penelitian merupakan kewajiban yang harusnya setiap mahasiswa pikirkan. Tanggung jawab mahasiswa terhadap penelitian hanya sebatas tugas akhir sebagai syarat kelulusan, namun untuk mengawal hingga karya tersebut terealisasi bisa dikatakan masih belum semua melakukan. Sudah berapa banyak skripsi yang dihasilkan oleh anak bangsa? dan sejauh mana implementasinya? Masih menjadi tanda Tanya hingga sekarang. Penerapan lab based education di kampus ini sedikitnya memberikan harapan bagi penelitian. Pembelajaran berbasis riset, serta pembimbingan riset untuk tugas akhir mahasiswa dengan korelasi proyek penelitian dosen – dosen menjadikan riset di kampus ini tidak sia – sia. Implementasi dari tugas akhir menunjang proyek penelitian dosen yang nantinya bisa memberikan dampak terhadap perkembangan teknologi bangsa ini. Namun tidak semua seperti itu, besarnya anggaran BOPTN tidak lantas semua penilitian di kampus ini gratis, bahkan sebuah tugas akhirpun kita mahasiswa harus membayar sendiri. Perlu digaris bawahi juga, jangan sampai kampus ini menjadi kampus proyekan dan kampus yang menjadi budak industri. Perlu dicamkan dalam benak kita masing – masing bahwa sejatinya penelitian yang kita hasilkan demi kemajuan bangsa.
Pengabdian Masyarakat
Menjadikan masyarakat hanya sebagai objek penelitian mahasiswa. Hal tersebut yang layak dilayangkan pada pengabdian masyarakat masa kini. Masyarakat hanya sebagai objek riset yang ketika kita sudah mendapat data dari mereka lalu kita pergi. Dimana kita tidak menanyakan apa yang mereka butuhkan tetapi kita memberinya apa. Sifat memanusiakan manusia seperti yang dikatakan Socrates dulu sepertinya sekarang sudah tidak ada. Ribuan bantuan kita berikan kepada masyarakat tak mampu, dan kita sudah bisa dicap seorang aktivis kemanusiaan. Melebur menjadi satu dengan masyarakat, mengikuti kegiatan mereka, ikut merasakan apa yang dirasakan mereka, serta menanyakan kebutuhan mereka sebenarnya. Mungkin dari hal – hal kecil tersebut yang seharusnya bisa kita lakukan ketika berbicara tentang pengabdian masyarakat.
Normatif dan terlalu idealis. Ketika saya menularkan sedikit pemikiran ini ke teman – teman. Bukannya mahasiswa sudah seharusnya berfikir idealis, semakin kesini saya lebih sering menjumpai mahasiswa yang lebih memilih berfikir realistis. Terlalu banyak pemikiran, kepentingan dan keadaan yang memaksa mahasiswa kehilangan idealismenya. Mungkin benar kata – kata Soe Hok Gie diawal. Mahasiswa saat ini seakan lupa bahwa sejatinya mereka juga seorang manusia. Seorang civil society yang seharusnya bisa memposisikan dirinya dengan baik ditengah – tengah masyarakat karena mereka juga bagian dari masyarakat. Mahasiswa terlalu mengedepankan logika berfikir mereka dan mendefinisikan bahwa hanya pemikiran dan sosok pribadinya saja yang benar. Mungkin sedikitnya pergerakan mahasiswa sekarang perlu mempertimbangkan perkataan Soe Hok Gie, menjadi manusia normal yang tidak mengingkari eksistensi hidupnya sebagai seorang mahasiswa, seorang pemuda/pemudi, dan seorang manusia.
Referensi :
[1] Didik Fotunadi. 2014. Revolusi Dari Secangkir Kopi (RDSK ). Bandung [ID]: Mizan Media Utama (MMU).
[2] Husein Abdulsalam, Perdana Putri. 2015. Ideologi adalah panglima, Media adalah Senjata. Buku ACT WITH GUTS & STIJL Komune Rakapare.
[3] Eryani Widyastuti. 2015. Pilih Anak Pintar Atau Anak Berkarakter? Atau, Anak Pintar dan Berkarakter? (Bagian 1). Alamat web :
[4] Penulis Berita. 2014. Anggaran BOPTN Naik, Dana Penelitian Melimpah
( http://www.jpnn.com/read/2014/12/09/274444/Anggaran-BOPTN-Naik,-Dana-Penelitian-Melimpah )